Background

Potret Seonggok Kebohongan. . .







            Berawal dari situs jejaring sosial di internet, dua insan bertemu dan mereka saling kenal. Namun hanya sebatas didalam sosial media. Mereka adalah manusia bertopeng yang hidup dengan segala kebohongan. Mereka memang saling kenal, tetapi tak saling tahu siapa jati diri mereka sebenarnya. Yah, itulah dunia maya.
            Sufarman Isded atau yang kerapkali dipanggil Si Farman adalah seorang pria yang menjelma menjadi siluman monyet di jejaring sosial Facebook. Tujuannya, agar ia menemukan seorang wanita yang mampu menerima ia apa adanya. Si Farman memang orang sederhana, dia hidup dan tinggal bersama neneknya saja. Kedua orangtuanya sudah dipangkuan Tuhan sejak ia berusia empat tahun. Maka dari itu, ia ingin menemukan pasangan hidupnya yang benar-benar mau menerima apa adanya.
            Dan terjadilah sudah, si Farman menemukan si Voni. Voniyem Zupenowati lengkapnya. Memang namanya berbau asing, karena memang Voni adalah anak dari salah satu nonik Belanda. Menurut Farman, Voni adalah wanita yang mau menerima ia apa adanya. Tapi lagi-lagi itu hanya sebatas sosial media atau dunia maya. Sesampai berjalan satu bulan, si Farman sudah tak kuasa menahan penasarannya. Ia sudah terlanjur jatuh hati pada si Voni.
 Si Farman pun segera mengajak ketemuan pada pesta pernikahan temannya. Dan si Voni pun mau.
Harinya pun jadi, mereka berdua bertemu. Farman tampak gagah dengan kostum monyetnya. Sebelumnya, teman-teman Farman sudah diberitahu bahwa Farman menjadi siluman monyet jadi-jadian. Tak banyak basa-basi Farman mengajak Voni berdansa. Lantas ia langsung membuka pembicaraan.

“Voni, kamu terlihat anggun, cantik, seperti nonik-nonik Belanda” pujian Farman terhadap Voni






“Terima kasih Farman, kamu juga terlihat gagah dengan wujudmu ini” jawab si Voni.
“Ini saatnya aku jujur. Sebenarnya aku ini manusia biasa, aku begini karena aku ingin menemukan wanita yang benar-benar apa adanya” celoteh Farman sambil membuka topeng monyetnya itu.
                                
“Wow. . . Kamu tampak lebih tampan sekarang. Tapi sayangnya, kamu ini manusia biasa” ujar Voni






“Apa maksud kamu ? lalu kamu ini siapa sebenarnya ?” tanya Farman sambil terkaget.
“Sebenarnya aku ini siluman monyet, dan aku juga ingin menemukan pasanganku yang sama-sama siluman monyet” pernyataan si Voni sambil membuka topeng cantiknya itu.
“Apa ????” seru Farman.
“Oh maaf Farman, tapi inilah aku. Kamu boleh tak cinta aku lagi. Maafkan semua kebohonganku selama ini” sela tangis si Voni. Voni lantas pergi entah kemana.
Farman sangat kaget dan menyesal dengan kejadian tersebut.

“Oh Tuhan, maafkan aku. Ini akibat kebohonganku juga” deru si Farman.
Dia  menyendiri dan termenung. Tak lama kemudian, Farman langsung pulang karena malu dilihat banyak teman-temannya.
                Akhirnya cerita mereka berakhir, rahasia manusia-manusia bertopeng itu terkedok. Kedua belah pihak itu pastinya sedih dan menyesal karena kebohongannya. Yah, itulah kebohongan. Dimanapun kita menyimpan durian busuk, percayalah orang lain pun pasti akan tahu tempatnya karena baunya yang menyengat. Begitulah yang tergambar pada kebohongan. Sepintar apapun kita berbohong, pasti nantinya terkedok juga. Tak perlu menutup-tutupi jati diri kita sebenarnya. Itu sama saja kita berbohong pada diri kita sendiri. Kalau kita tak jujur dengan diri kita sendiri, bagaimana dengan orang lain. Sekecil apapun dusta, itu tetap dusta, dan selamanya dusta itu tetap saja berdosa di mata Tuhan.










sumber gambar : http://komik-lucu.blogspot.com/2012/03/komik-lucu-topeng.html


Melodian Lapuk Masih Bernada . .

            Gitar tua , instrumen berdawai. Menciptakan seribu nada dengan bahasanya sendiri. Membuka memori kawan-kawan kusamku dengan petikan-petikan melodian. Menyelaraskan hidup dengan irama dan tempo hangat.
            Sosoknya telah mampu membuka jati diriku yang sebenarnya. Aku ini seorang gitaris tapi hanya setingkat standar. Jadi hidupku tak lepas dari gitar tua,ubanan, dan berlapuk. Namun, anehnya gitarku ini masih saja dapat berteriak lantang, meskipun aku malas merawatnya.
            Gitar yang berjenggot putih itu adalah guru yang mengajari jari-jari polosku menjadi dewasa dan semakin kuat. Tapi tak lepas dari gitar tuaku ini, adalagi sosok pahlawanku yang mengajari bangkit menjadi satria bergitar yaitu kawan-kawan kusamku. Berawal dari perkumpulan anak-anak rumah, merekalah yang terlebih dahulu mempunyai jiwa musik kental sebelum aku. Rupanya mereka mencintai solidaritas, kebersamaan, dan kesederhanaan. Dengan iming-iming begitu, hasratku tersentak untuk ingin memiliki jiwa pentatonik dan diatonik seperti mereka. Aku segera meminta teman-teman untuk mengajariku bagaimana cara menjinakkan alat berdawai itu dengan lihai. Ingin tahu bagaimana bergumul dengan nada C sampai B.
            Tak lama kemudian aku membeli gitar yang sekarang menjadi melodian lapukku, dengan uang sakuku sendiri selama sebulan. Kembali lagi dengan kawan-kawan kusamku, mereka hampir setiap hari berkumpul dengan sejuta warna. Mereka adalah kalangan ortodidak. Mampu bermain musik yang selaras dengan irama layaknya mereka sedang menyelaraskan hidupnya sendiri. Tanpa butuh kursus, mereka bisa mendongengkan berbagai instrumen tajam. Hukumnya adalah turun temurun. Semakin berkembang dari berbagai pergantian generasi. Entah itu karena faktor lingkungan, talenta, atau hobi. Nyatanya, dari generasi om-om kami sampai generasiku sekarang, semuanya bisa bermain musik. Mereka semua pandai menciptakan aransemen apik, tapi lebih dalamnya lagi mereka juga pandai merangkai kenangan. Membangun pengalaman diantara canda dan duka. Mereka memang mampu mengajariku bagaimana meredam sikap egois atau individualisme antar personil agar band tetap utuh. Tapi diatas tabir, mereka sendiri tak bisa bersatu sekarang. Memecah belah seperti kepingan kaca. Entah karena masalah pekerjaan, keluarga, atau seonggok alibi lainnya. Merekalah yang juga menumbuhkan karya didalam sejuta inspirasiku, yang sampai saat ini aku lahir dan berdiri sebagai satria bergitar.
            Aku disini bukan semata-mata aku yang hebat, tapi mereka yang hebat. Aku bukan tipe orang yang seperti kacang lupa kulitnya.
            Saat ini aku tak tahu dimana saja mereka. Semoga saja Tuhan mau mengumpulkan kami satu persatu. Aku rindu keharmonisan kami tercipta lagi seperti sediakala, seperti kami mampu menciptakan nada-nada yang harmonis, seperti kami mampu memukul perkusi dan berjalan diatas dawai. Mereka hanya meninggalkan kitab yang isinya adalah doktrin-doktrin tentang macam-macam suara dalam tabung kayu. Hanya mereka lah yang berjasa dibalik jati diriku sebagai satria bergitar. Mereka jugalah sang melodian lapukku.
            Sekarang ini, yang mampu menemaniku adalah gitar akustik berdawai, yang sudah tua, sudah membusuk, namun masih bisa berkarya. Setiap malam kelabu, gitar ini menjadi teman sebangkuku bersama secangkir kopi berasap. Hasilnya, semua itu hanya menambah suasana menjadi beralun seperti lirik-lirik tolol kesedihan. Tiba-tiba suasana hening menghantarkanku dalam memori masa lampau, dan mata tertuju pada stiker-stiker yang melekat erat pada gitar tuaku. Mengingat alat perekat itu adalah simbol nama band kami dahulu. Sungguh, nurani ini murung saat menengok masa lampau itu lagi. Setelah itu aku berlamun pada gitar tua ini “lihatlah kawan kusam kita” , dan sejenak gitar berjenggot ini menjawab “mimpi yang sebenarnya adalah melihat kedepan,bukan ke belakang”. Dengan ajaran seperti itu aku mencoba tetap hidup dengan pendirianku, aku harus mampu memanfaatkan ilmu yang mereka bagi. Dan aku juga harus mampu menjadi arsitek aransemen terbaik tanpa kenal musim. Apa bukti keberhasilan mereka jika tidak melalui aku sekarang. Seperti mereka pernah katakan “jangan jadikan karyamu hanya terkenal saja, tapi jadikan karyamu terkenang di segala musim” .
Tak bisa dipungkiri, semua karya aransemenku adalah hasil persilangan gitar berjenggot putih milikku dan semua kawan kusamku. Tak terasa episode terakhir datang. Nafas terakhirku berpamitan terima kasih pada gitar ini dan kawan-kawanku yang sekarang lapuk. Kemarin, sekarang, besok, dan selamanya kalian masih bernada dibalik jati diriku ini.  Thanks




amanat singkat :
- jangan seperti kacang lupa kulitnya


Petrus Bima A
Inspirated by :  DMC
       Secangkir Kopi Sejuta Memori . . .

Secangkir kopi itu tanda persahabatan .
Letak pertemuan tawa dan duka. Misalnya saat kita diterpa berbagai masalah seperti diputusin pacar, keluarga amburadul, homesick dan lainnya. Keluar rumah itu bukan lari dari kenyataan tapi hanya menenangkan pikiran kita dari benda-benda asing.
Kebahagiaan kekasih mungkin bisa dikatakan sejenak. Apa pemecahnya jika kita bersiteru dengan kekasih kita. Pikiran kita seperti dihantam masalah yang berat, seperti itu contohnya. Sepeleh, tapi memeras otak. Tapi tengoklah secangkir kopi harum si sahabat penenang. Mungkin ia terlihat pasif, tapi membawa sejuta inspirasi di malam yang penuh kreasi. Seseruput kopi membuat insomnia, namun ia ahli dalam membuka kenangan-kenangan kusam. Apa artinya sejuta sahabat tanpa lambang secangkir kopi berasap. Membuka peluang untuk mengumpulkan sahabat-sahabat kusam ketika kita masih berseragam putih abu-abu.
Dan ketika kita mulai bosan dengan teori-teori yang tak pernah menjadi nyata, bolos adalah keputusan tepat menurut kita. Apa artinya jam kosong dalam sebuah pendidikan ? masih saja menuntut sebuah absensi resmi. Bolos bukan pula lari dari kenyataan, tapi hanya merefresh pikiran suntuk kita.
Bukankah kita dituntut untuk tahu mana yang berguna dan mana yang tidak berguna. Sekarang, kita bicara tentang jam kosong. Apakah jam kosong itu berguna bagi seorang murid ? apa bukan lebih baik bolos, yang sejenak menenangkan pikiran kita dari hal-hal berat. Dan kembali lagi pada pokok pembicaraan, sasaran tepat ketika kita bolos adalah warung kopi. Warung kopi, terdengar biasa dan sederhana namun menyenangkan untuk ukuran sang pelajar berpikir berat.
Akhirnya kita tahu kita tak butuh lagi para ahli. Menurut kita, kafein adalah memori kita, vitamin kita, dan kebahagiaan kita . . .


untuk pembaca :
Maafkan cara pandang saya yang terlalu egois. Namun bila anda yang berbanding lurus dengan jalan pikiran saya, saya aturkan terima kasih.


Inspirated by :  Bangsa Hitam TKJ 1

INGUSAN TAPI MIMISAN . .

“srottt . . .srottt . . .srottt” begitulah bunyi ingus yang tersedak.
Si Umbel adalah bocah 7 tahun yang sejak kecil mengidap penyakit sinus sitis atau semacam penyakit pilek kental yang debitnya berlebihan. Setiap pagi ia harus susah payah menjinakkan ingusnya. Pagi yang dingin mendukung ingusnya untuk berjalan naik turun didalam lubang hidungnya. Si Umbel tak bisa lari begitu saja dari kenyataan pahitnya. Sampai ke negeri dongeng pun ia tetap harus bergulat dengan ingus saktinya itu.
Papa dan emak si Umbel sudah melakukan seribu cara untuk bisa menyembuhkan si Umbel tapi tetap saja ingusnya selalu bersikeras dan tak ingin pisah dengan si Umbel.

          Suatu hari si Umbel berdoa ditengah malam , “Tuhan, apa penyakitku ini kutukan ?. Aku percaya rencana-Mu itu indah, tapi saat ini beri aku terang, beri aku kekuatan Tuhan. Kau yang berfirman sendiri bahwa tidak ada yang mustahil didalam-Mu. Aku hanya bisa memohon sembuhkan aku Tuhan, ampunilah dosaku,keluargaku, saudaraku, teman-temanku dan semuanya. Amin” surat doanya sambil meneteskan air mata kucing.
        Selain itu ,ia juga menaruh harapan besar pada dokter spesialis ingusnya. Dua tahun ia berobat, tapi penyakitnya bertambah parah. Obat racikan dokter layaknya angin sepoi-sepoi yang melayang begitu saja. Obatnya hanya mampu mengurangi saja,tak mampuu menyembuhkan total. Namun, jika ia telat meneguknya ingus si Umbel akan semakin merajalela dan bertambah mimisan.
          Hampir semua dokter ingus pernah ia kunjungi, mulai dari gelar Drs. sampai dengan Alm. Tapi ingusnya tak kunjung sirna. Gelar yang cukup besar sebagai ahli ingus tak kuasa menahan ingus si Umbel agar tidak main prosotan lagi didalam lubang hidungnya. Sesekali ia bermain dan melewati batas kadaluarsanya, ingusnya akan keluar deras dari lubang hidung bagian kiri, sedangkan yang bagian kanan keluar darah seperti orang mimisan. Semua orang akan berpikir bagaimana nikmatnya bila air ingus yang begitu kental jatuh bercucuran dan tercampur darah merah segar.
          Si Umbel mencari solusi untuk menghambat ingusnya yang tak hentinya mengalir ke tempat yang lebih rendah. Tapi setelah ia mencari di Mbah Gugel yang tinggal di dalam goa dimana goa nya itu terbuat dari kaleng dan sempak mamel bekas, ternyata ingus si Umbel adalah mukjizat yang luar biasa. Dan filosofinya, semua orang tak tahu sebenarnya cairan itu sangat sehat bagi tubuh manusia maupun hewan. Ingus kental yang dicampur darah mimis segar itu akan menjadi minyak nabati. Para ahli gizi di ujung Suriname pernah berkata “cairan iki sehat, iki ana khasiate. Lan cairan iki ngandung vitamin BH36C” .
         
          Di sisi lain, orang tuanya tak mampu membiayai sekolahnya karena hartanya habis hanya demi mengendap ingus si Umbel. Tiba-tiba jam dinding berputar dua kali lebih kencang dari sebelumnya dan dengan cerdiknya si Umbel mempunyai ide bahwa ia ingin membuka usaha untuk membantu orang tuanya yaitu membuka sarana pengobatan. Satu info lagi , menurut buku ‘Seribu Vitamin Ingus Kental’ , campuran ingus dan darah dapat menyembuhkan penyakit epilepsi, phobia, dan anyang-anyangan. Pada akhirnya ia membuat pil tablet yang berisikan dari racikan ingus kental dan darah-darah segarnya itu. Banyak orang yang berkata bahwa obat si Umbel manjur. Sampai sekarang si Umbel mempunyai seribu agen di pelosok dunia nyata maupun dunia gaib. Singkat cerita , ia bersyukur akan keadaannya karena dengan penyakitnya yang unik nan sakti itu ia bisa menjadi orang yang berdolar-dolar.

-        Amanat :  bersyukurlah dalam segala hal apapun keadaan kita,keluarga kita, atau saudara kita. Sebab selalu ada satu pintu terbuka dari seribu pintu tertutup. Dan bersyukur itu sendiri bukan kehendak kita manusia, tapi itu kehendak Tuhan.