Background

RATAPAN KAUM MARJINAL





Gerumulan pemungut datang dengan sebongkah plastik bekas
Pahlawan kecil yang berjasa tanpa satupun gelar
Teladan yang hidup dibawah kolong langit, dan tak ternilai.
Yang tak percaya apa itu takdir, karena takdir ada pada semangatnya.

Nyatanya, penguasa bertopeng tak mampu tundukkan bagaimana lentera bangsa ini
Harusnya tikus-tikus berdasi malu dengan seribu gelar di namanya, karena tak mampu mengelola kaum marjinal
Siapa yang tak mampu bila hanya melempar ego di pihak ketiga, tanpa terjun ke medan perang seperti si tikus-tikus berdasi.
Kembali perhatikan kaum marjinal dengan segala kerendahannya
Ia bilah-bilah limbah yang cukup untuk sesuap nasi saja.
Punggawa-punggawa besar yang tertunda . . .

Kaum marjinal bukan makhluk astral, biasa saja, sederhana, apa adanya, dan datar. Tapi yang membuatnya semakin menyala-nyala adalah ‘mimpi’ .
Cita-cita mereka menjadi aktor dan aktris populer telah sirna, karena semakin dewasa dan bertambah dewasa ia mampu berpikir bahwa cita-citanya itu menuntut mereka untuk menjadi orang lain dan bukan dirinya sendiri. Mereka berpikir bahwa mereka punya ciri khas, dan nyaman jadi diri sendiri.
Malangnya, tak satupun mereka mampu duduk manis pada bangku pendidikan.
Merdeka hanya sebatas ‘KATANYA’
Kaum majinal telah haus. Mereka layak mendapatkan hasil dan tak lagi menunggu kata ‘SEMOGA’
Potret kaum marjinal ‘adalah kaca Indonesia’. Motivator masa depan bangsa.
Mereka bukan kucing-kucing yang patut digusur, namun mereka adalah anjing-anjing yang mempunyai kerendahan hati. Yang harusnya beratapkan genting bukan biru lazuardi. Tidur bersama pemiliknya dengan segala kenyamanan.
Inilah lukisan lilin yang mandiri di atas lapak dan berdiri tegak menerangi malam. Penjaga singgasana “Negara Boneka”.

Sekali lagi camkan bahwa “Kaum Marjinal bukan makhluk astral !”

Bisa dilukiskan lewat lagu berikut : Marjinal - Negeri ngeri



IMAJINASI SANG LONCENG . . . .

Lonceng adalah bagaimana burung berkicau, air gemercik, dan bulu-bulu yang melayang syahdu

Seperti salju yang turun dari lazuardi

Begitu pula betapa damainya sang lonceng

Kuning emas gemerlap yang tampak,

Layaknya anak desa yang lugu dan suka menolong


Diatas pegunungan nan hijau tersapu kabut layaknya hitam putih kehidupan

Dibalik keluguan sang lonceng,terselubung hati sebagai hamba yang rela melayani

Seperti budak yang cekak hatinya tapi entah kenapa tak secekak teladannya


Lonceng tak ingin menjadi telenovela karena ia tak ingin angannya dihapus oleh episode terakhir.

Angannya tak pernah berakhir seabadi kasihnya kepada sesama


”Tak ada yang mustahil” adalah yang dipegangnya dan senjatanya hanya sebatas “semangat”

Apa yang diludahi orang, itulah peluangnya

Semakin banyak air ludah, semakin bertambah semangatnya

Layaknya kembang api yang siap terjang ke atas dan membuat keindahan


Mungkin hampalah otaknya

Lantas, apa ia hanya duduk,tunduk dan termenung ?

Paradigma yang salah besar ...

Berlatih adalah guru besarnya , ia mengasihinya karena dia tak pernah lalai dalam bersyukur

Mungkin ia berat, dan tak mampu bersuara jika hanya mengandalkan tiupan angin


Lonceng memang sangat tanggap, ia tahu harus bagaimana

Renungan kitab adalah pedoman bahwa ia sekarang harus melakukan apa sekarang

Sang Pencipta, si pengandung, si peraup nafkah, dan pribadinya adalah dorongannya.


Kekurangannya yang sempurna adalah lonceng kehidupan yang sebenarnya.

Yang mampu menjadi megah layaknya lentera di tengah singgasana yang gelap gulita


Dan inilah yang sebenarnya lonceng kehidupan :


seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia. Dia melahirkan karya sastra secara produktif, walaupun kemampuan fisiknya nyaris tidak berfungsi, kesetiaan berkarya Ratna di dunia sastra ditandai dengan lebih dari 400 karya cerpen dan novel yang dihasilkannya sejak usia remaja hingga akhir hayatnya.








 Lahir dengan fisik terbatas, tak membuat Muhammad Amanatullah,warga Jalan Kartini Gang 16 Nomor 21 Kota Gresik ini, harus putus asa dan minder dalam beraktifitas sehari-hari.
Dengan jemari kakinya yang kecil, anak yang bercita-cita menjadi pelukis handal ini, selalu lincah memainkan pensil, untuk menjawab satu persatu soal ujian nasional.







  

Perenang Anak Tuna Daksa



Yang Tersisa dari Porcada Sulsel ke-2 Pangkep.

Anak Cacat Juga Bisa Raih Emas


Baru pertama kali ikut pertandingan resmi selama hidupnya,
Muhammad Aliah
yang lebih dikenal dengan nama Dani Afandi, sudah bisa menorekan prestasi. Meski prestasi masih pas-pasan, namun itu

sudah cukup membanggakan

 




Semoga dapat menjadi inspirasi dikala kita selalu memandang ke atas dan tak pernah tunduk kebawah....